LOMBOK UTARA sasamboinside.com – Krisis air bersih yang berkepanjangan di Gili Meno, sebuah pulau kecil di Lombok Utara, NTB, kembali menimbulkan duka bagi masyarakat setempat.
Setelah kesulitan mengakses air bersih untuk kebutuhan harian, kini giliran belasan hewan ternak yang menjadi korban diduga akibat dehidrasi.
Sejumlah peternak melaporkan kematian ternak mereka yang diduga kuat disebabkan kekurangan air. Mereka mengaku merugi hingga ratusan juta rupiah.
Kondisi ini memperburuk situasi warga yang semakin kesulitan mencukupi kebutuhan air, baik untuk konsumsi pribadi maupun kebutuhan agraris.
Muhammad Saing, seorang peternak di Dusun Gili Meno, Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang mengungkapkan bahwa krisis ini telah mengakibatkan matinya lima ekor sapi miliknya.
“Sapi saya tadinya ada 10 ekor, tapi lima ekor mati karena kekurangan air. Saya rugi ratusan juta akibat krisis air ini,” ungkap Saing, Sabtu (26/10/2024).
Kematian ternak tidak hanya dialami oleh Saing, banyak peternak lain di Gili Meno menghadapi situasi serupa.
Hewan ternak, mulai dari sapi hingga kambing banyak yang tidak bisa bertahan di tengah terbatasnya pasokan air yang seharusnya menjadi sumber kehidupan mereka.
Warga menduga bahwa kematian hewan-hewan ini murni disebabkan oleh dehidrasi karena tidak adanya tanda-tanda penyakit atau faktor lainnya.
“Sapi saya mati tiap minggu, bahkan ada beberapa sapi warga yang ditemukan mati dan membusuk di hutan karena terlalu lemah untuk bertahan hidup,” katanya.
“Tidak hanya sapi, kambing milik warga juga banyak yang mati. Kami tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi situasi ini,” tambah Saing.
Krisis air di Gili Meno ini bukan pertama kali terjadi, namun warga menyayangkan respons pemerintah daerah yang dinilai lambat dalam menangani masalah ini.
Dikatakan, pemerintah daerah seperti terkesan menutup mata dengan kondisi yang dialami masyarakat.
Awal krisis dimulai ketika pemerintah memutuskan untuk menghentikan layanan air bersih yang sebelumnya dikelola oleh PT BAL, tanpa memberikan pemberitahuan atau solusi alternatif bagi warga.
Langkah ini diambil tanpa musyawarah dengan warga setempat, sehingga menimbulkan protes dari masyarakat yang kini terpaksa berjuang mendapatkan air dari luar pulau.
“Kami kecewa karena waktu penutupan akses air bersih oleh PT BAL, pemerintah tidak memberikan konfirmasi atau pemberitahuan sama sekali,” tuturnya.
Sekarang sambung dia, pemerintah justru seolah kewalahan mencari cara agar warga Gili Meno tetap mendapatkan air.
“Saat ini, kami bergantung pada air dari darat yang diambil secara mandiri, namun tentu saja ini tidak mencukupi,” ungkap Saing.
Kekecewaan warga semakin meningkat setelah munculnya rencana pemerintah untuk bekerja sama dengan PT TCN dalam upaya pengeboran air di pulau tersebut.
Warga khawatir pengeboran ini akan merusak lingkungan Gili Meno yang terkenal dengan keindahan alamnya.
Selain itu, air dari pengeboran cenderung payau, sehingga tidak cocok untuk kebutuhan sehari-hari.
Masyarakat dengan tegas menolak keberadaan PT TCN di Gili Meno dan meminta solusi yang tidak merusak ekosistem pulau.
“Kalau TCN melakukan pengeboran di sini, apa bedanya dengan yang sebelumnya dilakukan BAL? Kami tidak ingin lingkungan rusak. Apalagi, air yang dihasilkan dari pengeboran biasanya payau dan tidak layak dikonsumsi. Kami ingin air dialirkan langsung dari darat, bukan dari pengeboran di pulau,” tukasnya.
Melihat semakin parahnya krisis air ini, warga Gili Meno mendesak agar Bupati Lombok Utara, H. Djohan Sjamsu, turun tangan langsung ke lapangan.
Mereka berharap bupati dapat melihat sendiri kondisi warga yang harus bertahan hidup dengan keterbatasan air bersih dan beban ekonomi akibat kematian hewan ternak mereka.
Masyarakat meminta agar Bupati segera mengupayakan pengiriman air dari darat ke pulau, sehingga kebutuhan dasar mereka dapat terpenuhi tanpa menambah dampak lingkungan yang negatif.
“Kami berharap Bupati Djohan Sjamsu mau turun tangan langsung dan mendengarkan apa yang menjadi keluhan kami di sini,” paparnya.
“Kami butuh solusi yang mendasar, yaitu air bersih dari darat, bukan pengeboran yang akan merusak lingkungan dan menghasilkan air payau,” lanjutnya.
“Kami memohon agar pemerintah mendengarkan aspirasi warga demi kebaikan bersama,” pungkas Saing berharap.