Sasamboinside.com – Tenggat waktu pengosongan untuk pedagang di pesisir Pantai Tanjung Aan, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah yang ditetapkan oleh ITDC hingga Sabtu (28/6/2025), telah berakhir.
Namun, bukannya mengosongkan lapak, para pemilik warung justru memilih tetap beraktivitas seperti biasa, bahkan memasang puluhan bendera Merah Putih sebagai simbol penolakan penggusuran yang akan dilakukan oleh ITDC.
Situasi ini mencerminkan kekecewaan mendalam para pedagang yang merasa diabaikan oleh pemerintah daerah dan terancam kehilangan mata pencarian mereka.
Salah satu pemilik warung, Amaq Inang, dengan tegas mengungkapkan harapannya agar penggusuran tidak terjadi.
“Janganlah digusur, ke mana kami akan mencari hidup? Kami akan tetap bertahan,” ujarnya.
Kekecewaan juga ditujukan kepada Pemerintah Daerah Lombok Tengah yang dinilai Amaq Inang seharusnya hadir di tengah-tengah masyarakat dan memprioritaskan warga setempat dalam mengelola dan memajukan pariwisata di Tanjung Aan.
Sebagai warga lokal, ia berharap lokasi tempat mereka menggantungkan hidup itu bisa diberikan hak pengelolaan oleh pemerintah daerah.
“Kami sanggup mengelola pantai, karena turis-turis itu ada di sini bukan karena ITDC,” tegasnya.
Amaq Inang menambahkan, dirinya sudah berjualan puluhan tahun di lokasi tersebut, jauh sebelum ITDC ada.
“ITDC belum ada, adanya LTDC waktu itu. Jadi yang mengembangkan pariwisata di sini ya kami-kami yang ada di sini,” imbuhnya.
Menurut Amaq Inang, beberapa wisatawan asing yang sedang berwisata juga menyayangkan rencana penggusuran.
Kata Amaq Inang, mereka lebih menyukai suasana natural dan otentik yang ditawarkan oleh warung-warung lokal di bandingkan restaurant modern.
“Mereka mau natural, kalau mau bintang 5 atau beach club mereka bisa pergi ke Dubai, kenapa mesti ke Lombok. Kami maunya yang natural. Mereka memilih ke Lombok karena naturalnya, bukan modernnya,” ujar Amaq Inang menirukan pernyataan wisatawan.
Amaq Inang juga menyatakan keraguan terhadap amenity core yang akan disiapkan PT ITDC sebagai lokasi relokasi pedagang. Ia khawatir usahanya tidak akan bertahan seperti saat ini.
“Lihat saja itu yang di Kuta Mandalika yang sebelah timurnya Masjid Nurul Bilad, mana ada yang belanja di sana, sepi. Nanti kita juga akan seperti itu di tempat yang katanya ITDC itu,” ungkapnya.
Pedagang lainnya, Adi Wijaya, menyayangkan sikap pemerintah mulai dari dusun hingga tingkat kabupaten yang seolah menutup mata terhadap nasib warga dan pedagang di Pantai Tanjung Aan.
Ia mengaku sudah meminta bantuan kepada Kepala Dusun, Kepala Desa, Camat, hingga Pemerintah Daerah, namun tidak ada kepastian.
“Bingung harus meminta pertolongan. Ke Kadus, Desa, Camat tidak bisa membantu. Seharusnya dibantu. Tapi pemerintah tidak hadir. Tidak ada tempat berlindung masyarakat di Tanjung Aan ini,” tandasnya.
Adi Wijaya juga menyanggah pernyataan pihak ITDC yang menyebut ada warga yang sudah membongkar warung secara mandiri. “Tidak ada warga yang membongkar warungnya,” tegasnya.
Sementara itu, pendamping warga, Badarudin menyampaikan kesiapan warga untuk berkontribusi terhadap pemerintah daerah jika hak pengelolaan diberikan kepada mereka.
“Kawan-kawan dia bersedia memberikan kontribusi ke pemerintah,” ujarnya.
Badarudin mengatakan, pemerintah daerah Kabupaten Lombok Tengah melalui Bapenda sudah mendata warung di sepanjang pantai Tanjung Aan.
Ia mencontohkan Warung Rizki yang didata pada Januari 2025 dan kemudian pada 19 Mei keluar surat pemberitahuan NPWP.
“Artinya, secara tidak langsung Warung Rizki diakui sebagai objek pajak, yang namanya usaha punya lokasi. Ini menunjukkan pemerintah tidak melindungi warganya,” pungkas Badarudin.