Maggotisasi Sampah Organik, Solusi Ramah Lingkungan Dan Ekonomis

Sasamboinside.com – Sampah menjadi permasalahan yang tak kunjung usai di berbagai daerah, termasuk di Kelurahan Praya, Kabupaten Lombok Tengah. Lalu Darmawan selaku Ketua Kelompok Pengelola Pengolah Sampah (KPPS), menegaskan bahwa meskipun banyak orang berbicara tentang sampah, tidak semua bersedia bertindak untuk mengelolanya.

Sebaliknya, masih banyak yang justru membuang sampah sembarangan, mencemari lingkungan darat, laut, dan udara.

Dalam acara Pengukuhan Pengurus Wanita Peduli Lingkungan (WPL) Kampung Jawa, Lalu Darmawan menekankan pentingnya menyelesaikan masalah sampah dari rumah masing-masing.

Menurutnya, pengelolaan sampah yang baik dapat dimulai dari kebiasaan memilah sampah organik dan anorganik. Pemerintah memang memiliki peran dalam tata kelola sampah, namun upaya masyarakat juga sangat dibutuhkan.

Salah satu solusi inovatif dalam mengelola sampah organik adalah maggotisasi, yaitu pemanfaatan larva Black Soldier Fly (BSF) atau lalat tentara hitam.

Guru Besar Biologi Terapan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Ramadhani Eka Putra, Ph.D., menyebutkan bahwa larva BSF mampu menguraikan sampah organik dengan cepat dan menghasilkan pakan ternak serta pupuk kompos yang bernilai ekonomi.

Bahkan, sistem ini telah diakui oleh Food and Agriculture Organization (FAO) sebagai metode pertanian yang berkelanjutan.

Keunggulan Maggotisasi dalam Pengolahan Sampah

Maggot BSF memiliki kemampuan luar biasa dalam mengurai limbah organik. Sampah yang biasanya membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk terurai, dapat dihabiskan oleh BSF dalam hitungan hari.

Proses ini tidak hanya mengurangi timbunan sampah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS), tetapi juga mengurangi emisi gas metana yang dihasilkan dari pembusukan sampah organik.

Selain itu, maggot BSF memiliki nilai ekonomi tinggi. Harga telur BSF berkisar antara Rp 3.000 hingga Rp 10.000 per gram, sementara larvanya dapat dijual dengan harga Rp 7.000 hingga Rp 15.000 per gram.

Bahkan, maggot berkualitas tinggi atau golden maggot bisa mencapai harga Rp 200.000 per kilogram. Maggot ini banyak dicari sebagai pakan ikan koi, burung penyanyi, dan hewan ternak lainnya.

Dukungan untuk Ketahanan Pangan

Lebih dari sekadar solusi lingkungan, budidaya BSF juga dapat membantu mewujudkan ketahanan pangan. Maggot yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pakan ayam petelur, sehingga masyarakat bisa memperoleh telur berkualitas dengan biaya lebih rendah.

Sementara itu, pupuk organik yang dihasilkan dari kasgot (kotoran maggot) dapat digunakan untuk pertanian, mendukung konsep pertanian berkelanjutan di tingkat rumah tangga.

Yang menarik, maggotisasi tidak memerlukan modal besar. Dengan memanfaatkan lahan seluas 50 hingga 100 meter persegi, masyarakat dapat mengolah hingga 1 ton sampah organik per hari.

Peralatan budidaya pun dapat dibuat dari barang bekas atau dibeli dengan harga terjangkau di marketplace.

Mengedukasi dan Mengubah Stigma

Tantangan terbesar dalam penerapan maggotisasi adalah stigma masyarakat terhadap lalat. Banyak yang masih menganggap lalat sebagai hewan kotor dan pembawa penyakit.

Padahal, lalat BSF berbeda dari lalat rumah biasa. BSF tidak hinggap di makanan manusia dan justru membantu mengurangi sampah organik dengan cepat.

Lalu Darmawan berharap, dengan edukasi yang tepat, masyarakat dapat mengubah cara pandang mereka terhadap maggotisasi.

Dicontohkan dia seperti penggunaan helm yang awalnya dianggap merepotkan namun kini menjadi standar keselamatan berkendara, budidaya maggot juga bisa menjadi kebiasaan positif dalam mengelola sampah dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat.

Menuju Indonesia yang Mandiri dalam Pengelolaan Sampah

Dengan jumlah sampah organik yang melimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengadopsi metode ini secara luas.

“Jika setiap rumah tangga mulai mengelola sampah organik dengan maggotisasi, beban pengangkutan sampah akan berkurang drastis, TPS tidak lagi penuh dengan sampah busuk, dan lingkungan menjadi lebih bersih,” kata dia saat menghadiri acara pengukuhan WPL Kampung Jawa, di Praya Kemarin.

Lebih dari itu, masyarakat dapat memperoleh manfaat ekonomi dari budidaya BSF. Selain membantu mengurangi pencemaran lingkungan, metode ini juga membuka peluang usaha baru yang menjanjikan.

“Oleh karena itu, sudah saatnya kita berperan aktif dalam mengelola sampah, baik dengan mempraktikkan maggotisasi di rumah maupun mendukung komunitas yang telah menjalankannya,” katanya.

“Jika setiap orang mengambil peran dalam mengelola sampahnya sendiri, maka lingkungan yang bersih dan sehat bukan lagi sekadar impian, melainkan kenyataan yang dapat kita wujudkan bersama,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *